Pernahkah teman-teman merasa seperti sedang berjalan di atas tali saat berhadapan dengan Gen Z? Salah langkah sedikit, tali itu bisa putus. Jika terlalu keras, respons yang muncul bisa berupa rasa tersinggung atau bahkan protes. Tapi, jika terlalu lembut, pesan kita seperti lenyap begitu saja, tak meninggalkan kesan. Gen Z memang menghadirkan tantangan tersendiri dalam komunikasi, baik di dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.

Gen Z adalah generasi yang tumbuh di tengah derasnya arus digital dan informasi. Segala hal di sekitar mereka bergerak cepat, dari tren media sosial hingga pola pikir. Hidup mereka penuh pilihan, sehingga mereka menjadi lebih kritis, mandiri, dan peka terhadap banyak hal. Namun, di balik itu semua, mereka juga butuh merasa dihargai, didengarkan, dan dipahami.

Saya pernah mengalami situasi menarik saat memberikan arahan kepada seorang rekan Gen Z. Dengan gaya saya yang to the point, saya pikir pesan saya sudah cukup jelas. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dia merasa sikap saya terlalu keras, sehingga responsnya adalah sikap defensif. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa komunikasi dengan Gen Z bukan hanya soal apa yang kita sampaikan, tetapi juga soal bagaimana cara kita menyampaikannya.

Gen Z perlu didengarkan. Sebelum kita berbicara, penting untuk memberi mereka ruang untuk menyampaikan pandangan mereka. Mendengarkan tidak hanya menunjukkan rasa hormat, tetapi juga membuka pintu untuk komunikasi yang lebih efektif. Selain itu, pendekatan yang personal, empati, dan hangat jauh lebih efektif dibandingkan nada otoritatif yang terkesan mendikte. Namun, komunikasi bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Gen Z juga perlu belajar bagaimana cara bersikap dan berkomunikasi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang berasal dari generasi yang berbeda.

Di era di mana kebebasan berpendapat sangat ditekankan, kadang mereka lupa bahwa kebebasan itu perlu diimbangi dengan rasa hormat dan kesadaran akan konteks. Gen Z juga perlu memahami bahwa kritik dan masukan, meskipun terdengar keras, sering kali datang dari niat baik. Jangan buru-buru merasa tersinggung atau defensif. Dengarkan dulu, cerna dengan kepala dingin, dan jika ada yang tidak sejalan, sampaikan pendapat dengan cara yang sopan dan konstruktif. Selain itu, penting bagi Gen Z untuk mengembangkan keterampilan membaca situasi. Tidak semua hal bisa disampaikan kapan saja dan di mana saja. Ada waktu untuk berbicara dan ada waktu untuk mendengarkan. Kesadaran akan konteks ini akan membuat komunikasi menjadi lebih lancar dan penuh makna. Sama halnya, Gen Z juga perlu menghargai pengalaman orang lain, terutama mereka yang sudah lebih lama berada di dunia kerja. Pengalaman itu adalah aset berharga yang bisa menjadi panduan bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Menghargai bukan berarti tunduk pada otoritas, tetapi memahami bahwa setiap generasi punya hal yang bisa dibagikan dan dipelajari. Kata-kata “keras patah, lembut hilang” tidak hanya menjadi pengingat bagi mereka yang mencoba berkomunikasi dengan Gen Z, tetapi juga untuk Gen Z sendiri. Komunikasi yang efektif adalah jalan dua arah yang melibatkan rasa hormat, empati, dan keinginan untuk saling memahami. Jadi, jika hari ini kita merasa kesulitan berkomunikasi dengan Gen Z atau sebagai Gen Z, merasa sulit dipahami oleh orang lain, mari kita ingat bahwa komunikasi bukan soal siapa yang lebih benar, tetapi bagaimana kita membangun hubungan yang saling menghargai. Pada akhirnya, keberhasilan komunikasi tidak hanya ditentukan oleh apa yang kita katakan, tetapi juga bagaimana kita membuat orang lain merasa dihormati dan dimengerti.

Semoga kita semua bisa terus belajar untuk berkomunikasi dengan lebih baik. Semoga menginspirasi 😊

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *