Keserakahan itu seperti pasir hisap—semakin kita mengejarnya tanpa batas, semakin dalam kita tenggelam. Di awal, mungkin terasa wajar ingin memiliki lebih banyak. Siapa yang tidak ingin hidup nyaman, harta berlimpah, atau posisi yang lebih tinggi? Tapi, di titik tertentu, ada garis tipis yang memisahkan antara ambisi sehat dan keserakahan yang membutakan.

Pernahkah kita melihat seseorang yang awalnya cukup bersyukur dengan apa yang dimiliki, tapi setelah meraih sesuatu, tiba-tiba ingin lebih lagi? Gaji naik, tapi merasa kurang. Jabatan bertambah tinggi, tapi masih iri dengan posisi orang lain. Rumah besar sudah dimiliki, tapi ingin rumah yang lebih megah lagi. Apa yang didapat tak pernah cukup karena hati tak pernah merasa puas.

Yang paling berbahaya dari keserakahan adalah caranya mengubah cara pandang kita terhadap hidup. Kita mulai mengukur segalanya dari “berapa banyak yang bisa aku ambil” alih-alih “berapa banyak yang bisa aku bagi.” Kita sibuk mengejar angka di rekening, tapi lupa bahwa di luar sana ada kebahagiaan yang tidak bisa dibeli.

Keserakahan membuat orang lupa diri. Banyak yang awalnya jujur, tapi mulai bermain curang demi keuntungan lebih. Ada yang rela mengorbankan hubungan baik hanya untuk mengejar ambisi pribadi. Yang paling ironis, mereka yang terjebak dalam keserakahan sering kali kehilangan hal-hal paling berharga dalam hidup—waktu bersama keluarga, kesehatan, bahkan ketenangan hati.

Kita mungkin merasa bahwa memiliki lebih banyak akan membuat hidup terasa aman. Tapi kenyataannya, semakin banyak yang kita kumpulkan, semakin besar ketakutan kehilangan. Apa gunanya rumah mewah jika hati tak pernah tenang? Apa gunanya kekayaan melimpah jika selalu curiga pada orang di sekitar?

Bukan berarti ambisi itu salah. Bekerja keras dan menginginkan hidup yang lebih baik adalah hal yang wajar. Tapi, kita perlu tahu kapan harus berhenti. Hidup bukan perlombaan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin, melainkan perjalanan untuk menemukan makna dan berbagi kebaikan.

Belajarlah dari mereka yang tahu arti cukup. Ada orang yang hidup sederhana tapi bahagia, karena mereka mengerti bahwa nilai hidup tidak diukur dari berapa banyak yang dimiliki, melainkan dari seberapa besar rasa syukur yang dijaga.

Pada akhirnya, semua yang kita kejar di dunia ini hanya titipan. Tidak ada yang bisa kita bawa ketika waktu kita di dunia selesai. Jadi, mengapa kita membiarkan keserakahan mengambil alih hati dan pikiran kita?

Mungkin sudah waktunya bertanya pada diri sendiri: Apakah aku benar-benar butuh ini, atau hanya sekadar ingin terlihat lebih dari yang lain? Karena kebahagiaan sejati bukan datang dari apa yang kita kumpulkan, tapi dari apa yang bisa kita syukuri dan bagikan.

Jangan biarkan keserakahan mengubah siapa diri kita sebenarnya. Sebab, hidup yang bermakna bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang tahu kapan harus berkata, “Aku sudah cukup.”

Semoga menginspirasi 😊

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *